To my forever teachers, from your forever student.
Di terowongan gelap yang gak berkesudahan itu, tuhan kirim saya dua orang ini. Usrau dan Usdew. "Us" adalah singkatan dari Ustadzah yang sering kami pakai di asrama untuk memanggil nama guru. Selain keluarga saya, masa transisi saya dari SMP ke SMA gak akan lengkap tanpa kehadiran dua sosok ini. Konseling rasanya sudah jadi kebutuhan buat saya, kayaknya waktu itu gak akan bisa bernapas kalau gak cerita ke beliau berdua (wkwk).
Disaat saya menggantungkan masa depan saya ke SMA favorit yang saya pilih, beliau-beliau memperkenalkan saya pada pemegang masa depan sebenarnya. Tuhan saya dan kita semua, Allah swt. Tuhan yang selama ini saya sembah tapi mungkin belum saya maknai. Bahwa jauh sebelum Stoikisme yang dicetus oleh Zeno dan Citium ada, dalam Islam ada tawakkal. Menyerahkan diri pada Allah dan yakin bahwa keputusannya adalah sebaik-baiknya keputusan.
Tawakkal ada karena takdir adalah hal gaib diluar kuasa kita dan "usaha" hadir hanya sebagai media untuk memanfaatkan kapasitas maksimum manusia, sisanya hanya Allah yang tahu baiknya seperti apa. Menggantungkan semua hal ke Allah itu perlu sekali ternyata. Karena kalau hasilnya gak sesuai ekspektasi kita, selama udah usaha berarti memang itu rezeki terbaik kita. Gak akan ada kecewa dan menyalahkan diri yang gak berkesudahan setelahnya.
Suatu pelajaran dan perjalanan panjang buat saya untuk gak menjadikan diri saya sendiri sebagai musuh, tapi teman untuk berkompetisi secara sehat. Beliau manyadarkan saya bahwa saya gak perlu khawatir dunia gak bakal berputar kalau saya gak lulus di SMA itu. Saya menggantungkan masa depan saya pada tuhan yang membelah laut untuk Nabi Musa as. Tuhan yang mengeluarkan Nabi Yunus as dari perut ikan paus. Tuhan yang memungkinkan hal yang tidak mungkin. Penulis skenario terbaik yang mengenal hambanya daripada hamba itu sendiri.
Hal lain yang saya pelajari adalah gak ada gunanya membandingkan diri saya sama orang lain, ibaratnya kayak bandingin apel sama durian. Garis start setiap orang aja beda, apa yang harus dibandingkan? Karena dalam perlombaan untuk jadi manusia, diri kita adalah kontestan satu-satunya. Klise tapi benar adanya bahwa perbandingan sesungguhnya adalah diri kita hari ini dan yang kemarin.
Semua itu mengajarkan saya untuk memaknai setiap proses dalam hidup saya. Bahwa setiap hari dan setiap hal adalah pembelajaran. Belajar untuk menurunkan ego yang kadang lebih tinggi dari logika, ikhlas, dan mencintai diri. Belajar untuk melihat hal-hal dari perspektif yang berbeda. Beliau-baliau mengajarkan saya banyak hal baik yang masih saya pelajari bahkan sampai sekarang.
Alhasil di hari pengumuman penerimaan, walaupun ternyata gak keterima, saya merasa lebih lapang. Mungkin diri saya sebelum itu bakal kaget "Hah kok gak mental breakdown? kok gak nangis kejer?" Sebuah anomali yang kalau ditarik tracknya ternyata memang fakta. Seakan-akan ujian sebenarnya bukan penerimaan SMA, tapi apakah saya bisa lapang pada setiap penolakan? Dan selama itu saya berguru pada Usrau dan Usdew.
Walau masih ada sedikit rasa kecewa dan takut mengecewakan orang lain, kelapangan saya saat itu adalah bukti bahwa saya udah mengalami proses pembelajaran yang gak akan terbayar bahkan dengan saya masuk SMA itu sekalipun.
Comments
Post a Comment